Kisah Keajaiban Takbir dalam Revolusi Suriah
Dari beberapa pemuda
paramedis di klinik yang kami singgahi hari ini, ada seorang pemuda asal
Latakia. Namanya Aiman, usia 22 tahun. Seperti kebanyakan warga Suriah
lainnya, pemuda yang sempat mengenyam kuliah Fakultas Kedokteran selama
tiga tahun ini sangat ramah menyambut kami. “Saya berhenti kuliah untuk
bergabung dengan teman-teman lain, merawat rakyat yang dizalimi penguasa
kami sendiri,” tuturnya.
Tanpa kami minta, dengan runut Aiman menceritakan ihwal revolusi yang
memakan banyak korban jiwa dari kawan dan kerabatnya. Termasuk
aktivitasnya di awal revolusi meletus, Januari 2010 silam. “Bibit
perlawanan ini kami tanam dari masjid. Demonstrasi rutin kami lakukan
usai shalat Jumat,” tuturnya mulai bercerita. “Mengapa shalat Jumat?
Karena satu-satunya wadah berkumpul yang tidak bisa dicegah oleh
pemerintah adalah shalat Jumat.”
“Kami tak punya senjata apapun, selain hanya pekikan takbir. Itupun,
dibalas oleh tentara dengan timah panas. Ya, meski kami hanya bisa
bertakbir, itu sudah menggentarkan mereka.” “Karenanya, Anda bisa
ditangkap hanya gara-gara bertakbir!” Sejenak ia menghela nafas dan
membetulkan duduknya. Sesaat matanya menerawang ke atas, seperti
mengenang sesuatu.
“Ketika demonstrasi sudah tak mungkin lagi dilakukan karena ganasnya
tentara, kami di Latakia sepakat untuk tetap menggemakan takbir.”
“Setiap malam, kami menyaksikan tausiyah dan tahridh (motivasi
perjuangan) yang disampaikan Syaikh Adnan Al-Arudh lewat televisi.
Tayangan itu berakhir pukul 00.00,” lanjutnya. “Begitu selesai tanyangan
berakhir, kami membuka pintu dan jendela untuk meneriakkan takbir
bersama-sama. Jadilah Latakia bergelimang gema takbir.”
“Tentara Bashar Asad pun menjawab dengan tembakan. Saat menembak,
posisi mereka merunduk dan mengendap-endap bersembunyi. Padahal kami tak
punya senjata apa-apa. Sasaran mereka adalah setiap pintu dan jendela
yang terbuka. Tujuannya untuk menakut-nakuti agar jangan sampai orang
bertakbir. Hingga suatu hari ada seorang bocah yang duduk di jendela
tewas disambar peluru mereka.”
Aiman lalu menceritakan bagaimana saat demo temannya luka tertembak.
Ia dan kawan-kawannya berusaha menyelamatkan teman tersebut dengan
mencari dokter rumahan. “Tidak mungkin kami bawa ke rumah sakit. Pasien
yang saat masuk ke RS dengan luka tembak di kaki, misalnya, pulang sudah
menjadi mayat dengan luka tembak di kepala. Rumah sakit menjadi ladang
pembantaian,” tuturnya.
Kami larut dalam cerita Aiman. Ia begitu nyata menggambarkan keadaan
yang dialaminya dalam cerita tersebut. Sampai tak terasa jam menunjukkan
pukul 16.00. Sesuai jadwal resminya, klinik sudah boleh tutup. Tapi
dalam praktiknya, klinik tak pernah tutup. Jam berapapun pasien harus
dilayani
sumber : http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/ketika-mereka-hanya-mampu-bertakbir.htm#.UNV0rF0h91g
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih