PERBUATAN HAMBA (AF’AL AL’IBAD)
DAN KEKUASAAN MUTLAK TUHAN
A. Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan
sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah,
Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah
keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia
sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak.
Maka disini timbulllah pertanyaan :
- Sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ?
- Apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?
1. Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya
ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat.
Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan
atas dirinya salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia
tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab
(acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti
wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan.
Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik
maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia
perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu
adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh
isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan
yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan.
Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak
ayat Al-qur’an yangmendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat
ke-29 yang artinya : “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang
mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”.
3. Aliran
Mu’tazilah
Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya
yang besar dan bebas. Oleh karna itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau
free will. menurut Al-Juba'i dan Abd Aljabbra. Manusialah yang menciptakan
perbuata-perbuatannya. Manusia sendirilah yang membuat baik dan buruk.
KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya (al-istita'ah)untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam
diri manusia sebelum adanya perbuatan. Untuk membela fahamnya, aliran
Mu'tazilah mengungkapkan ayat berikut:
Artinya:
"Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan
sebaik-baiknya".(QS. As-Sajdah: 7).
Disamping argumentasi naqliah di atas, aliran
Mu'tazilah mengemukakan argumentasi berikut ini.
a. Kalau
Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai
perbuatan, batAllah taklif syar'i. hal ini karena syariat adalah ungkapan
perintah dan larangan yang merupakan thalap pemenuhan thalap tidak terlepas
dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b. Kalau manusia
tidak bebas untuk melakukan perbuatannya. Runtuhlah teori pahal dan hukuman
yang muncul dari konsep faham al-wa'dwaal-wa'id(janji dan ancaman). Hal ini
karma perbuatan itu menjadi tidak dapat di sandarkan kepadanya secara mutlak sehingga
bersekoensi pujian atau celaan.
c. Kalau
manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada
gunanya sama skali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwa dan dakwa harus
di barengi kebebasn pilihan?
4. Aliran
Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi
yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam
hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah
daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai
teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan
perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib
(yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan,
yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk
membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-Qur’an yang artinya :
“Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96).
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah,
sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan
demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia
yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan
bukan atas daya kehendaknya.
5. Aliran
Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan
pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok
pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih
dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut
Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata
sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah
bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama
dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya
yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham
Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan
Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam
masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia
tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan
baginya.
B. Kekuasaan dan
Kehendak Mutlak Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa
Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis
dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.
1. Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah percaya pada hukum alam atau sunnah
Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut faham
determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sebagai kata Nadir, tidak
berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah. Sebagai
penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang tak berubah-ubah ini dan
determinisme ini; ada baiknya dibawa di sini uraian Tafsir al-Manar. Segala
sesuatu di alam ini, demikian al Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan
sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab di
dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan
sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan
sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak
berubah-ubah untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang
ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia
menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan mengalami kekalahan.
2. Asy’ Ariyah
“Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya
kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi sebaliknya. Mereka menolak faham Mu’tazilah
bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka
perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang
mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa
perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan
bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong
bagi Tuhan untuk berbuat.
3. Maturidiyah
“Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut
pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan
memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya
menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa-Nya, dan
tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan. Akan tetapi bagaimana pun juga
seperti akan dijelaskan nanti, faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah
semutlak faham Asy’ ariah.
Maturidiyah golongan Samarkand, tidaklah sekeras
golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan mutlak Tuhan.
Batasan-batasan yang diberikan golongan Samarkand ialah:
A. Kemerdekaan
dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
B. Keadaan
Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan
manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk
berbuat baik atau berbuat jahat.
C. Keadaan
hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi.
4. Prof Harun
Nasution
“Kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak
lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah
dibatasi oleh kebebasan yang menurut faham Mu’tazilah, telah diberikan kepada
manusia dalam menentukan perbuatan dan kemauan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu
dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat
sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau
dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat serupa ini tak
dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut faham
Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula
oleh nature atau hukum alam(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986).
Hanafi, Pengantar Teologi Islam,
(Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995
Jalaluddin
Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Qur’an (Kajian Tafsir
Tematik),Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Nasution, Teologi
Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
1986).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih