Nama : Ahdin Mara
Saleh H.
NIM : 112081000045
Kelas : Manajemen B
PENGERTIAN IMAN DAN KUFUR
1.
Pengertian
Iman
Iman berasal dari bahasa Arab
yang berarti membenarkan, dan dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya
yaitu sebuah kepercayaan dalam hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT. Itu
benar-benar ada serta membenarkan dan mengamalkan semua yang telah di ajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Dan mempercayai keberadaan Nabi dan Rasul sebelum
beliau.
Dan menurut Syeih Jahir Ibnu
Shalih Al Jaziri iman adalah sebagaimana akidah yakni meyakini dan membenarkan
suatu perkara.
Dari
pendapat ulama diatas bisa disimpulkan bahwa iman merupakan hal yang
bersangkutan dengan hati, tentang iman kepada Allah dan semua hal yang gaib,
dan perlu adanya pembenaran.
Pengertian
di atas kami kutip dari pemahaman salah satu aliran yang sampai saat ini masih
bertahan.
2. Pegertian Kufur
Kufur secara bahasa berasal dari
bahasa Arab yang berarti ingkar. Kufur adalah suatu keadaan yang berarti tidak beriman,
maksudnya jika ditarik dengan arti iman di atas, dimana iman berarti percaya
dan kebalikannya adalah kufur yang berarti tidak percaya kepada Allah SWT. Dan
semua hal-hal yang gaib. Baik bagi seseorang yang bertuhan selain Allah SWT.
Ataupun seseorang yang tidak bertuhan yaitu yang berfaham komunis.Pendapat lain
mengatakan bahwa kufur adalah mengingkari tauhid, kenabian,ma’ad,
atau meragukan kejadiannya dan mengingkari pesan dan hukum para Nabi yang sudah
di ketahui kedatangannya disisi Allah SWT.
Dari
sini jelaslah peranan kufur sebagai antagonis dari iman. Seseorang dikatakan
beriman apabila ia percaya kepada Allah SWT. Dan seseorang yang tidak percaya
atau mengingkari terhadap keberadaan Allah SWT. Sebagai Tuhan maka ia dikatakan
kufur.
Selanjutnya
mengenai pengertian iman dan kufur terjadi perbedaan pendapat di kalangan
aliran-aliran Islam yang pernah ada dalam sejarah. Perbandingan Antar
Aliran Iman Dan Kufur
1. Khawarij
Seperti yang kita ketahui
sebelumnya dalam sejarah, kaum Khawarij adalah pengikut-pengikut Ali Bin Abi
Thalib yang kemudian keluar dari barisan lantaran tidak setuju atas terjadinya
peristiwa tahkim (arbitrase). Khawarij adalah golongan yang
pertama kali memunculkan faham mengenai iman dan kufur, dimana kaum Khawarij
mengecap Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah Bin Abi Sofyan serta semua yang
terlibat dalam tahkim tersebut adalah kafir. Menurut mereka,
karena Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah Bin Abi Sofyan beserta para
pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti
mereka telah berbuat dosa besar. Dan menurut sebagian besar subsekte Khawarij
bahwa pelaku dosa besar adalah kafir.
Di sini kaum Khawarij memasuki
persoalan kufr: siapakah yang disebut kafir dan keluar dari
Islam? Siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari,
tetapi tetap dalam islam.
Khawarij dengan paham-paham yang
radikal membuat golongan ini rentang dengan perpecahan, termasuk
subsekte-subsekte Khawarij; Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-Azaridah,
Al-Ajaridah, Al-Sufriyah, dan Al Ibadiyah.
2. Murji’ah
Murji’ah seperti halnya Khawarij,
adalah golongan yang mengeluarkan paham berawal karena masalah politik,
pendapat mengenai iman adalah sebagai respon terhadap pendapat Khawarij mengenai
kafirnya para sahabat yang terlibat pada peristiwa tahkim, karena
dianggap melakukan dosa besar sama halnya zina, riba, menbunuh, dan lain
sebagainya. Kemudian kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara
dosanya di serahkan kepada Allah SWT. Apakah Dia akan mengampuninya atau
tidak.
Jika dilihat dari paham-paham
golongan ini mengenai iman dan kufur, Murji’ah bisa di kategorikan
sebagai paham antagonis dari Khawarij, Khawarij yang menekankan pemikirannya
pada masalah siapa yang di anggap kafir, sedangkan Murji’ah menekankan pada
paham mengenai siapakah yang di anggap masih mukmin dan masih dalam keadaan
Islam.
Selain itu Khawarij yang menitik
beratkan iman pada perbuatan seseorang, maka Murji’ah tidak menyangkut-pautkan
iman dengan perbuatan seseorang, dengan kata lain menurut Murji’ah iman tidak
di lihat dari perbuatan baik atau buruknya seseorang.
Golongan yang mengaku berada di
posisi netral di antara golongan khawarij dan Syiah ini berpendapat bahwa iman
seseorang tidak hilang lantaran dosa besar yang di lakukannya. Menurut mereka
dan sesuai dengan nama Murji’ah yang berasal dari kata (arja’ah )
yang berarti menunda berpendapat bahwa apapun persoalan dosa besar yang mereka
buat itu ditunda penyelesainnya ke hari perhitungan kelak. Pandangan
iman menurut Murji’ah adalah mengakui tiada Tuhan selain Allah SWT. Dan bahwa
Nabi Muhammad SAW. Adalah Rasulnya. Dan selama seseorang masih mempercayai dan
mengakui tiada Tuhan selain Allah SWT. Dan Nabi Muhammad SAW. Adalah utusannya,
meskipun telah melakukan dosa besar orang tersebut masih tetap mukmin dan bukan
kafir, ini merupakan kesimpulan logis dari pendirian bahwa yang menentukan
mukmin atau kafirnya seseorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan
perbuatan atau amalnya. Dalam perkembangannya Murji’ah digolongkan menjadi
dua; subsekte ekstrim dan subsekte moderat.
a. Murji’ah Ekstrim
Murji’ah Ekstrim meliputi
berbagai macam subsekte, yang di golongkan menjadi Murji’ah Ekstrim adalah
golongan Murji’ah yang sangat dominan mengatakan bahwa iman sama sekali tidak
di pengaruhi oleh perbuatan, mereka mengatakan bahwa iman semata-mata hanya di
dalam hati, walaupun lidah dan perbuatan mengatakan tidak percaya kepada Allah
SWT. Tapi dikembalikan lagi pada hati orang itu sendiri, maka hati adalah
semata-mata penentu iman seseorang.
Seperti golongan al-Jahmiyah,
golongan ini mengatakan bahwa Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya
hanyalah dalam hati, bukan bagian lain dari tubuh manusia, bahkan mereka
mengatakan bahwa orang-orang yang menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran
yahudi atau agama kristen dengan menyembah salib, mengatakan
percaya dengan trinity, dan kemudian mati. Orang demikian bagi
Allah SWT. Tetap merupakan seorang Mukmin yang sempurna imannya, selama masih mempercayai Allah SWT. Dalam hatinya.
Menurut subsekte Murji’ah Ekstrim
apapun ucapan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam kalbu. hal
itu yang membuat kelompok Murji’ah ekstrim mengatakan bahwa seseorang masih
sempurna imannya apabila dalam hati masih mempercayai Tuhan walaupun
perbuatannya telah menyimpang dari kaidah-kaidah agama.
b. Murji’ah Moderat
Pada dasarnya golongan Murji’ah
moderat tidak jauh berbeda dengan golongan Murji’ah ekstrim, yang membedakan
adalah; iman selain di dalam hati (tashdiq), ia juga di sertai
dengan lisan (iqrar).
Golongan ini berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi
akan di hukum di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang di lakukannya,
dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, oleh karena itu tidak
akan masuk neraka sama sekali. Abu Hanifah di kategorikan masuk pada paham
golongan moderat, adapun definisi iman menurut Abu Hanifah sebagai berikut:
iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya
dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam
perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada
perbedaan antara manusia dalam hal iman. Seperti kata
al-Syahrastani:”bagaimana mungkin seseorang yang di didik beramal sampai
besarnya dapat menganjurkan untuk meninggalkan amal”, hal ini menunjukkan
bahwasannya mengenai iman menurut Abu Hanifah adalah sesuatu yang ada dalam
hati manusia dan tidak tidak dipengaruhi oleh perbuatan, bukan berarti perbuatan
seseorang sama sekali tidak di lihat disini.
Perbuatan baik dan perbuatan
buruk atau istilahnya dosa besar, tidak merubah kadar keimanan seseorang,
mengenai apabila pendosa besar yang belum sempat bertaubat di dunia, nasibnya
di akhirat nanti diserahkan kepada Allah SWT. Mengenai Allah SWT. Akan
menyiksanya, itu pun tidak akan kekal di dalamnya, dan apabila Allah SWT.
Berkehendak untuk mengampuninya, itu pun hanya Allah SWT. Yang menentukan.
3. Mu’tazilah
Mu’tazilah muncul masih pada permasalahan
bagaimana status pelaku dosa besar, berbeda dengan khawarij yang menfonis
pelaku dosa besar sebagai kafir, atau Murji’ah yang mengatakan bahwa pelaku
dosa besar adalah tetap mukmin. Mu’tazilah mengambil posisi tengah antara kafir
dan mukmin, yang berarti bukan mukmin atau bukan kafir, yang kemudian di kenal
dengan istilah fasik. Jika meniggal dunia sebelum bertaubat, ia akan di
masukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Namun siksaan yang bakal di terimanya
lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.
Amal perbuatan menurut pandangan
Mu’tazilah adalah komponen penting dalam konsep iman, hal ini sebagaimana
pendapat Mu’tazilah mengenai perbuatan manusia, bahwa manusia itu sendirilah
sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan
kufurnya, kepatuhan dan tidak kepatuhannya kepada Tuhan. Dimana manusialah yang
menentukan apakah ia akan menjadi orang yang beriman ataukah menjadi orang yang
kufur.
Mengenai peranan amal perbuatan,
Mu’tazilah menempatkannya sebagai efek terhadap tambah atau berkurangnya kadar
iman seseorang, iman akan bertambah seiring dengn meningkatnya perbuatan baik
seseorang, dan sebalikanya iman justru akan berkurang dengan setiap kali
melakukan perbuatan ma’siat.
Menurut aliran yang disebut kaum
rasionalis Islam ini, komponen iman yang penting yang mempengaruhi iman selain
amal perbutan adalah mengetahui dan akal (Ma’rifah). Menurut
Mu’tazilah iman adalah suatu pengetahuan yang di peroleh menggunakan akal, iman
di katakan telah benar apabila menggunakan akal, maka dari itu iman
berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang
lain (al-iman bi at-tqlid). Mu’tazilah
mengatakan apakah mereka itu kafir ataukah orang-orang mukmin yang durhaka jika
di hubungkan dengan keadaan di dunia yakni apakah berlaku atas mereka itu
hukum-hukum orang kafir di dunia ini ataukah hukum-hukum orang mukmin. Adapun
keadaan mereka di akhirat tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka akan kekal
di dalam neraka.
4. Asy’ariyah
Setelah 40 tahun berkecimpung
dalam aliran Mu’tazilah, Abu Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada perasaan syak,
ajaran Mu,tazilah yang di peroleh dari Al-Juba’i menimbulkan
persoalan-persoalan yang tak mendapatkan penyelesaian yang
memuaskan, pertanyaan-pertanyaan Abu Hasan Al-Asy’ari mengenai mengapa
anak kecil yang mati suatu saat di akhirat nanti akan mendapatkan tempat antara
surga dan neraka, terus bagaimana seandainya anak kecil tersebut menuntut
tempat di surga, dan seterusnya. Namun pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya
memaksa Al-Juba’i untuk diam.
Dari situlah Abu Hasan Al-Asy’ari
merenung dan akhirnya memilih keluar dari aliran Mu’tazilah.
Kemudian Abu Hasan Al- Asy’ari menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran
yang berpegang kuat pada Hadits, Abu Hasan Al-Asy’ari kemudian melawan kaum
Mu’tazilah dengan debat lisan dan tulisan, dengan mengumpulkan dalil-dalil dari
al-Qur’an dan Hadits.
Berbeda dengan Mu’tazilah yang
mengedepankan akal dalam menentukan paham, Abu Hasan Al
Asy’ari dalam menegakkan pahamnya ialah, dengan mengutamakan
dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits dan juga dengan pertimbangan akal dan
pikiran, oleh karena itu paham Al-Asy’ari juga
disebut sebagai paham sunni, yang merupakan paham tandingan
bagi Mu’tazilah.
Iman menurut Al-Asy’ari
adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati), adapun
definisi yang di inginkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari yang mana di jelaskan oleh
Asy-Syahrastani;
“Al-Asy’ari berkata,”....Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu).
Sedangkan ‘mengatakan’(qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban
utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang) iman.
Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya an
juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman
orang semacam ini merupakan iman yang sahih.....dan keimanan seseorang tidak
akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Demikian definisi itu bahwasannya
iman menurut Al-Asy’ari adalah mengikrarkan dengan lisan dan
membenarkan dengan hati. persyaratan minimal untuk adanya iman
adalah tashdiq, dan sempurnanya iman adalah mengikrarkan
dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota. Kedudukan
amal perbuatan dalam paham Al-Asy’ari, dimana ibadah merupakan manifestasi,
pembuktian iman itu sendiri, iman seseorang yang disempurnakan dengan ibadah
yang tekun mengantarkan seseorang kepada jalan taqwa, dimana iman adalah
potensi ruhani. Supaya iman dapat mencapai prestasi ruhani yang di
sebut taqwa, di perlukan aktualisasi-aktualisasi iman yang terdiri dari
beberapa macam dan jenis kegiatan yang dalam istilah al-Qur’an di formulasikan
dengan kalimat ‘amilus-shalihat, amal-amal shaleh, selain itu
fungsi ibadah terhadap iman adalah menjaga keselamatan akidah, terutama akidah
yang berkaitan dengan kedudukan manusia dan kedudukan Tuhan, dan hubungan
manusia dengan Tuhan. Seseorang yang melakukan perbuatan buruk, tidak
lantas menjadi kafir, ia tetap mukmin namun masih belum sempurna imannya,
selama perbuatan seorang tersebut tidak menjadikannya kufur/mengingkari Allah
SWT.
Mengenai kufur disini adalah
seseorang yang tidak memercayai adanya Tuhan dan utusan-utusan-Nya, atau orang
yang mempunyai Tuhan selain Allah SWT. Termasuk orang kafir adalah orang yang
percaya adanya Allah namun mengingkarinya, atau orang yang mengaku beriman
tetapi lalai atas keimanannya dengan menyekutukan-Nya.
Al Asy’ariyah juga tidak mengakui
adanya posisi menengah pada aliran Mu’tazilah, sekiranya orang yang berbuat
dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak
didapati kufr atau iman; dengan demikian bukanlah ia atheis
dan bukanlah pula ia monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa
ini tidak mungkin. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang yang berdosa
besar bukan mukmin dan bukan pula kafir. Di sini jelas bahwa Al-Asy’ari
menempatkan perbuatan seseorang bukan penentu seseorang itu iman atau kufur,
atau menyebabkan seseorang berada di antara iman dan kufur, dengan kata lain
tidak iman dan tidak kufur, tetapi harus jelas iman atau jelas kufur.
5. Maturidiyah
Merupakan aliran tandingan dari
aliran Mu’tazilah selain Asy’ariyah, paham ini adalah paham yang juga
berpedoman pada Qur’an dan Sunnah, paham-pahamnya tidak berbeda jauh dengan
pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Aliran yang menganut paham Abu
Hanifah ini dalam perjalanannya terjadi perbedaan pendapat di antara para
pengikutnya, seperti Al-Baqillani dengan Al-Juwaini, dan Al-Bazdawi. Antara
kedua kubu pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga
boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua
golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut Al- Maturidiyah sendiri,
dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut Al-Bazdawi.
DAFTAR PUSTAKA
Sheikh Muhammad
al-Fudholi, Kifayatul awam: Pembahasan Ajaran Tauhid Ahlus Sunnah,Surabaya:
Mutiara Ilmu., 1997.
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press,
1986.
Abdul Razak,
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih