Translate

Minggu, 16 Desember 2012

Iman dan kufur


Nama           : Ahdin Mara Saleh H.
NIM       : 112081000045
Kelas      : Manajemen B


PENGERTIAN IMAN DAN KUFUR
1.   Pengertian Iman
       Iman berasal dari bahasa Arab yang berarti membenarkan, dan dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuah kepercayaan dalam hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT. Itu benar-benar ada serta membenarkan dan mengamalkan semua yang telah di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan mempercayai keberadaan Nabi dan Rasul sebelum beliau.
       Dan menurut Syeih Jahir Ibnu Shalih Al Jaziri iman adalah sebagaimana akidah yakni meyakini dan membenarkan suatu perkara.
      Dari pendapat ulama diatas bisa disimpulkan bahwa iman merupakan hal yang bersangkutan dengan hati, tentang iman kepada Allah dan semua hal yang gaib, dan perlu adanya pembenaran.
       Pengertian di atas kami kutip dari pemahaman salah satu aliran yang sampai saat ini masih bertahan.
2.  Pegertian Kufur
       Kufur secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti ingkar. Kufur adalah suatu keadaan yang berarti tidak beriman, maksudnya jika ditarik dengan arti iman di atas, dimana iman berarti percaya dan kebalikannya adalah kufur yang berarti tidak percaya kepada Allah SWT. Dan semua hal-hal yang gaib. Baik bagi seseorang yang bertuhan selain Allah SWT. Ataupun seseorang yang tidak bertuhan yaitu yang berfaham komunis.Pendapat lain mengatakan bahwa kufur adalah mengingkari tauhid, kenabian,ma’ad, atau meragukan kejadiannya dan mengingkari pesan dan hukum para Nabi yang sudah di ketahui kedatangannya disisi Allah SWT.
       Dari sini jelaslah peranan kufur sebagai antagonis dari iman. Seseorang dikatakan beriman apabila ia percaya kepada Allah SWT. Dan seseorang yang tidak percaya atau mengingkari terhadap keberadaan Allah SWT. Sebagai Tuhan maka ia dikatakan kufur.    
       Selanjutnya mengenai pengertian iman dan kufur terjadi perbedaan pendapat di kalangan aliran-aliran Islam yang pernah ada dalam sejarah. Perbandingan Antar Aliran Iman Dan Kufur
1.      Khawarij
       Seperti yang kita ketahui sebelumnya dalam sejarah, kaum Khawarij adalah pengikut-pengikut Ali Bin Abi Thalib yang kemudian keluar dari barisan lantaran tidak setuju atas terjadinya peristiwa tahkim (arbitrase). Khawarij adalah golongan yang pertama kali memunculkan faham mengenai iman dan kufur, dimana kaum Khawarij mengecap Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah Bin Abi Sofyan serta semua yang terlibat dalam tahkim tersebut adalah kafir. Menurut mereka, karena Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah Bin Abi Sofyan beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Dan menurut sebagian besar subsekte Khawarij bahwa pelaku dosa besar adalah kafir.
       Di sini kaum Khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang disebut kafir dan keluar dari Islam? Siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari, tetapi tetap dalam islam.
       Khawarij dengan paham-paham yang radikal membuat golongan ini rentang dengan perpecahan, termasuk subsekte-subsekte Khawarij; Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-Azaridah, Al-Ajaridah, Al-Sufriyah, dan Al Ibadiyah.
     2.      Murji’ah
       Murji’ah seperti halnya Khawarij, adalah golongan yang mengeluarkan paham berawal karena masalah politik, pendapat mengenai iman adalah sebagai respon terhadap pendapat Khawarij mengenai kafirnya para sahabat yang terlibat pada peristiwa tahkim, karena dianggap melakukan dosa besar sama halnya zina, riba, menbunuh, dan lain sebagainya. Kemudian kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya di serahkan kepada Allah SWT. Apakah Dia akan mengampuninya atau tidak. 
       Jika dilihat dari paham-paham golongan ini mengenai iman dan kufur, Murji’ah  bisa di kategorikan sebagai paham antagonis dari Khawarij, Khawarij yang menekankan pemikirannya pada masalah siapa yang di anggap kafir, sedangkan Murji’ah menekankan pada paham mengenai siapakah yang di anggap masih mukmin dan masih dalam keadaan Islam.
       Selain itu Khawarij yang menitik beratkan iman pada perbuatan seseorang, maka Murji’ah tidak menyangkut-pautkan iman dengan perbuatan seseorang, dengan kata lain menurut Murji’ah iman tidak di lihat dari perbuatan baik atau buruknya seseorang.
       Golongan yang mengaku berada di posisi netral di antara golongan khawarij dan Syiah ini berpendapat bahwa iman seseorang tidak hilang lantaran dosa besar yang di lakukannya. Menurut mereka dan sesuai dengan nama Murji’ah yang berasal dari kata (arja’ah ) yang berarti menunda berpendapat bahwa apapun persoalan dosa besar yang mereka buat itu ditunda penyelesainnya ke hari perhitungan kelak.  Pandangan iman menurut Murji’ah adalah mengakui tiada Tuhan selain Allah SWT. Dan bahwa Nabi Muhammad SAW. Adalah Rasulnya. Dan selama seseorang masih mempercayai dan mengakui tiada Tuhan selain Allah SWT. Dan Nabi Muhammad SAW. Adalah utusannya, meskipun telah melakukan dosa besar orang tersebut masih tetap mukmin dan bukan kafir, ini merupakan kesimpulan logis dari pendirian bahwa yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalnya. Dalam perkembangannya Murji’ah digolongkan menjadi dua; subsekte ekstrim dan subsekte moderat.
a.       Murji’ah Ekstrim
       Murji’ah Ekstrim meliputi berbagai macam subsekte, yang di golongkan menjadi Murji’ah Ekstrim adalah golongan Murji’ah yang sangat dominan mengatakan bahwa iman sama sekali tidak di pengaruhi oleh perbuatan, mereka mengatakan bahwa iman semata-mata hanya di dalam hati, walaupun lidah dan perbuatan mengatakan tidak percaya kepada Allah SWT. Tapi dikembalikan lagi pada hati orang itu sendiri, maka hati adalah semata-mata penentu iman seseorang.
       Seperti golongan al-Jahmiyah, golongan ini mengatakan bahwa Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati, bukan bagian lain dari tubuh manusia, bahkan mereka mengatakan bahwa orang-orang yang menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran yahudi atau agama kristen dengan menyembah salib,  mengatakan percaya dengan trinity, dan kemudian mati. Orang demikian bagi Allah SWT. Tetap merupakan seorang Mukmin yang sempurna imannya, selama masih mempercayai Allah SWT. Dalam hatinya.
       Menurut subsekte Murji’ah Ekstrim apapun ucapan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam kalbu.  hal itu yang membuat kelompok Murji’ah ekstrim mengatakan bahwa seseorang masih sempurna imannya apabila dalam hati masih mempercayai Tuhan walaupun perbuatannya telah  menyimpang dari kaidah-kaidah agama.
b.      Murji’ah Moderat
       Pada dasarnya golongan Murji’ah moderat tidak jauh berbeda dengan golongan Murji’ah ekstrim, yang membedakan adalah; iman selain di dalam hati (tashdiq), ia juga di sertai dengan lisan (iqrar).
       Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan di hukum di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang di lakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Abu Hanifah di kategorikan masuk pada paham golongan moderat, adapun definisi iman menurut Abu Hanifah sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman. Seperti kata al-Syahrastani:”bagaimana mungkin seseorang yang di didik beramal sampai besarnya dapat menganjurkan untuk meninggalkan amal”, hal ini menunjukkan bahwasannya mengenai iman menurut Abu Hanifah adalah sesuatu yang ada dalam hati manusia dan tidak tidak dipengaruhi oleh perbuatan, bukan berarti perbuatan seseorang sama sekali tidak di lihat disini.
       Perbuatan baik dan perbuatan buruk atau istilahnya dosa besar, tidak merubah kadar keimanan seseorang, mengenai apabila pendosa besar yang belum sempat bertaubat di dunia, nasibnya di akhirat nanti diserahkan kepada Allah SWT. Mengenai Allah SWT. Akan menyiksanya, itu pun tidak akan kekal di dalamnya, dan apabila Allah SWT. Berkehendak untuk mengampuninya, itu pun hanya Allah SWT. Yang menentukan.

3.      Mu’tazilah
       Mu’tazilah muncul masih pada permasalahan bagaimana status pelaku dosa besar, berbeda dengan khawarij yang menfonis pelaku dosa besar sebagai kafir, atau Murji’ah yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah tetap mukmin. Mu’tazilah mengambil posisi tengah antara kafir dan mukmin, yang berarti bukan mukmin atau bukan kafir, yang kemudian di kenal dengan istilah fasik. Jika meniggal dunia sebelum bertaubat, ia akan di masukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Namun siksaan yang bakal di terimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.
       Amal perbuatan menurut pandangan Mu’tazilah adalah komponen penting dalam konsep iman, hal ini sebagaimana pendapat Mu’tazilah mengenai perbuatan manusia, bahwa manusia itu sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan tidak kepatuhannya kepada Tuhan. Dimana manusialah yang menentukan apakah ia akan menjadi orang yang beriman ataukah menjadi orang yang kufur.
       Mengenai peranan amal perbuatan, Mu’tazilah menempatkannya sebagai efek terhadap tambah atau berkurangnya kadar iman seseorang, iman akan bertambah seiring dengn meningkatnya perbuatan baik seseorang, dan sebalikanya iman justru akan berkurang dengan setiap kali melakukan perbuatan ma’siat. 
       Menurut aliran yang disebut kaum rasionalis Islam ini, komponen iman yang penting yang mempengaruhi iman selain amal perbutan adalah mengetahui dan akal (Ma’rifah). Menurut Mu’tazilah iman adalah suatu pengetahuan yang di peroleh menggunakan akal, iman di katakan telah benar apabila menggunakan akal, maka dari itu iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi at-tqlid).  Mu’tazilah mengatakan apakah mereka itu kafir ataukah orang-orang mukmin yang durhaka jika di hubungkan dengan keadaan di dunia yakni apakah berlaku atas mereka itu hukum-hukum orang kafir di dunia ini ataukah hukum-hukum orang mukmin. Adapun keadaan mereka di akhirat tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka akan kekal di dalam neraka.
4.      Asy’ariyah
       Setelah 40 tahun berkecimpung dalam aliran Mu’tazilah, Abu Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada perasaan syak, ajaran Mu,tazilah yang di peroleh dari Al-Juba’i menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan, pertanyaan-pertanyaan Abu Hasan Al-Asy’ari mengenai mengapa anak kecil yang mati suatu saat di akhirat nanti akan mendapatkan tempat antara surga dan neraka, terus bagaimana seandainya anak kecil tersebut menuntut tempat di surga, dan seterusnya. Namun pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya memaksa Al-Juba’i untuk diam.
       Dari situlah Abu Hasan Al-Asy’ari merenung  dan akhirnya memilih keluar dari aliran Mu’tazilah. Kemudian Abu Hasan Al- Asy’ari menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran yang berpegang kuat pada Hadits, Abu Hasan Al-Asy’ari kemudian melawan kaum Mu’tazilah dengan debat lisan dan tulisan, dengan mengumpulkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadits.
       Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengedepankan akal dalam menentukan paham, Abu Hasan Al Asy’ari  dalam menegakkan pahamnya ialah, dengan mengutamakan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits dan juga dengan pertimbangan akal dan pikiran, oleh karena itu paham Al-Asy’ari juga disebut sebagai paham sunni, yang merupakan paham tandingan bagi Mu’tazilah.
       Iman menurut Al-Asy’ari adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati), adapun definisi yang di inginkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari yang mana di jelaskan oleh Asy-Syahrastani;
“Al-Asy’ari berkata,”....Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’(qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya an juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman orang semacam ini merupakan iman yang sahih.....dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
       Demikian definisi itu bahwasannya iman menurut Al-Asy’ari adalah mengikrarkan dengan lisan  dan membenarkan dengan hati. persyaratan minimal untuk adanya iman adalah tashdiq, dan sempurnanya iman adalah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota.       Kedudukan amal perbuatan dalam paham Al-Asy’ari, dimana ibadah merupakan manifestasi, pembuktian iman itu sendiri, iman seseorang yang disempurnakan dengan ibadah yang tekun mengantarkan seseorang kepada jalan taqwa, dimana iman adalah potensi  ruhani. Supaya iman dapat mencapai prestasi ruhani yang di sebut taqwa, di perlukan aktualisasi-aktualisasi iman yang terdiri dari beberapa macam dan jenis kegiatan yang dalam istilah al-Qur’an di formulasikan dengan kalimat ‘amilus-shalihat, amal-amal shaleh, selain itu fungsi ibadah terhadap iman adalah menjaga keselamatan akidah, terutama akidah yang berkaitan dengan kedudukan manusia dan kedudukan Tuhan, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Seseorang yang melakukan perbuatan buruk, tidak lantas menjadi kafir, ia tetap mukmin namun masih belum sempurna imannya, selama perbuatan seorang tersebut tidak menjadikannya kufur/mengingkari Allah SWT.
       Mengenai kufur disini adalah seseorang yang tidak memercayai adanya Tuhan dan utusan-utusan-Nya, atau orang yang mempunyai Tuhan selain Allah SWT. Termasuk orang kafir adalah orang yang percaya adanya Allah namun mengingkarinya, atau orang yang mengaku beriman tetapi lalai atas keimanannya dengan menyekutukan-Nya.
       Al Asy’ariyah juga tidak mengakui adanya posisi menengah pada aliran Mu’tazilah, sekiranya orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman; dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula ia monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir. Di sini jelas bahwa Al-Asy’ari menempatkan perbuatan seseorang bukan penentu seseorang itu iman atau kufur, atau menyebabkan seseorang berada di antara iman dan kufur, dengan kata lain tidak iman dan tidak kufur, tetapi harus jelas iman atau jelas kufur.
5.      Maturidiyah
       Merupakan aliran tandingan dari aliran Mu’tazilah selain Asy’ariyah, paham ini adalah paham yang juga berpedoman pada Qur’an dan Sunnah, paham-pahamnya tidak berbeda jauh dengan pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah.
       Aliran yang menganut paham Abu Hanifah ini dalam perjalanannya terjadi perbedaan pendapat di antara para pengikutnya, seperti Al-Baqillani dengan Al-Juwaini, dan Al-Bazdawi. Antara kedua kubu pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan  bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut Al- Maturidiyah sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut Al-Bazdawi.

                                           

DAFTAR PUSTAKA
Sheikh Muhammad al-Fudholi, Kifayatul awam: Pembahasan Ajaran Tauhid Ahlus Sunnah,Surabaya: Mutiara Ilmu., 1997.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih