Translate

Minggu, 18 November 2012

SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN TEOOGI DALAM ISLAM


SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN TEOOGI DALAM ISLAM

a.      Awalnya karena persoalan politik, lalu berlanjut pada masalah akidah dan takdir.
            Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.
Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.
Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.[1]
b.      Munculnya perselisihan
            Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.
Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi di masa pemerintahan Khalifah Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah.
Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.“Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.
Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi.
Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran (makhlukatau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya. [2]

2.      SEJARAH LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERSOALAN KALAM/ TEOLOGI DALAM ISLAM
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang mengangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berujung pada penolakan Mu’awiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan ini mengakibatkan timbulnya perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase).
Kemudian hal ini mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali sehingga pasukan Ali terbagi menjadi dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali disebut golongan Syi’ah sedangkan yang tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali disebut golongan Khawarij.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:


a.      Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berasal dari kata kharaja yang berarti keluar maksudnya adalah bahwa kalangan mereka adalah orang-orang yang keluar dari barisan Ali ra. Pada saat peristiwa arbitrase dengan muawiyah ra, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Dengansemboyan mereka yang terkenal La hukma illa lillah (Tiada hukum kecuali hukum Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada pembuat hukum kecuali Allah).
Berdasarkan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali bin Abi Thalib. Menurut pendapat aliran ini yang berhak memutus perkara hanya Allah, bukan melalui arbitrase (tahkim). Dari sinilah kalangan Khawarij memasuki persoalan kufr : siapakah yang kafir atau yang keluar dari Islam dan siapa yang disebut mukmin atau masih tetap dalam Islam. Kalangan khawarij pun pada perkembangannya terpecah menjadi banyak golongan.
Subsekte khawarij yang sangat ekstrim yaitu Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan daripada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dalam barisan mereka, sedangkan pelaku  dosa besar dalam pandangan mereka disebut kafir millah (agama), dan itu artinya dia sudah keluar dari islam. Si kafir semacam ini kekal di neraka bersama orang kafir lainnya.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azariqah. Jika Azariqah memberi predikat kepada umat islam yang tidak masuk dalam kelompok mereka, Najdah pun memberi predikat  yang sama terhadap orang yang melakukan dosa kecil secara berkesinambungan. Akan halnya dengan dosa besar yang dilakukan tidak terus menerus, pelakunya dipandang kafir dan jika dilakukan secara kontinu dipandang musyrik.
Iman dalam pandangan khawarij tidak hanya percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.
Subsekte Khawarij yang sangat moderat (Ibadiyah) memilikki pandangan yang berbeda bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin atau disebut kafir nikmat dan bukan nikmat millah (agama). Siksaannya di neraka selamanya bersama orang kafir lainnya.
b.      Murji’ah
Aliran murji’ah adalah aliran yang memberikan reaksi terhadap pendapat aliran khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar adalah aliran murji’ah. Menurut kaum murjiah dosa besar tidak mengakibatkan kekafiran. Apabila seorang mukmin melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun hakikatnya, kita serahkan kepada Allah kelak di akhirat.
Subsekte Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah) berpendapat bahwa keimanan terletak dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “Perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran.” Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar akan disiksa di neraka.
Sementara Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendati pun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksa neraka.
Pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi bukan berarti bahwa dosa yang diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal didalamnya. Disamping itu, iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak berkurang dan tidak bertambah. Agaknya ini merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah baik ekstrim maupun moderat.
c.       Mu’tazilah
Secara harfiyah kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazila yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah :
Bagi mereka, orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya dikenal dengan istilah al-manzilah bain manzilatain.
Setiap pelaku dosa besar, menurut mu’tazilah berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir, jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amir Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Lalu timbul pula dalam islam dua aliran teologi yang terkenal yaitu al-Qadariah dan al-Jabariah.
d.   Paham Qadariyah dan Jabariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah inggrisnyafree will dan free act. Aliran ini berpendapat tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuasaan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai Qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Mereka berdalil dengan ayat – ayat al-Qur'an :
“buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat” (TQS Fussilat : 40)
Jabariayah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam Al-munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Mereka berdali dengan ayat al-Qur'an :
“Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekranya Allah tidak menghendaki” (TQS Al-An'am : 112)
Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia  bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauan sendiri, tapi timbul karena qadha dan qadar  Tuhan yang menghendaki demikian.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia punya bagian dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
e.   Aliran Asy’ariyah, Al Maturidiyah, dan At Tahawi
Perlawanan tehadap Mu’tazilah datang dari pengikut aliran tradisional islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mahzab ibnu hambali. Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang didirikan oleh Abu Al-Hasan al asy’ari (935 M) yang dikenal dengan teologi asy’ariyah. Al-asy’ari berpendapat bahwa terhadap pelaku dosa besar, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah), walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi, jika dosa besar itu tetap dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan diakhirat kelak tergantung kehendak Allah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Di samarkand aliran yang menentang mu’tazilah didirikan oleh abu mansyur muhammad almaturidi (w. 944 M) yang dikenal dengan aliran al Maturidiyah. Tentang Perbuatan Manusia, menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Selain dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, muncul pula penentang mu’tazilah yaitu at tahawi (933 M) pengikut iman hanafi. Tetapi ajaran-ajaran at Tahawi tidak menjadi aliran teologi dalam islam. Maka aliran aliran teologi dalam islam adalah khawarij, syia’ah, Murji’ah, Mukthazilah, asy’ariyah dan Mathuridiyyah. Aliran aliran yang masih ada sampai sekarang adalah Asy’ariyah dan Mathuridiyyah yang keduanya disebut Ahlussunnah Waljama’ah atau Sunni dan Syi’ah.
Mathuridiyyah banyak dianut pengikut Madzhab Hanafi, sedangkan aliran asy’ariyah dianut Sunni. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia islam, maka banyak kalangan intlektual muslim yang menggunakan ajaran-ajaran mu’tazilah, sehingga disebut neo mu’tazilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih