RESUME STUDI ISLAM
KEADILAN TUHAN
Dosen : Drs. Aminuddin, M.Ag
NAMA : AHDIN MARA SALEH H.
NIM : 1112081000045
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
KEADILAN TUHAN
- Makna Adil
Kata keadilan berasal dari kata arab al-‘adl sebagai
bentuk masdar dari ‘adala, ya’dilu, ‘adlan yang berarti meluruskan, menyamakan
dan berbuat adil. Bisa juga berarti al-kailu atau timbangan dan tawassatha
baina haalaini yang berarti penengah antara dua hal. Sejalan dengan itu, kata
‘adala mengandung arti menyelesaikan masalah. Umpamanya, menyelesaikan
permusuhan antara dua orang yang sedang bertikai atau bertengkar.
Melihat kepada arti aslinya tidak mengherankan kalau
kata al-‘adl dihubungkan dengan timbangan yang lurus secara horisontal, yaitu
timbangan yang daunnya tidak berat sebelah. Sebagian orang juga menyebut bahwa
adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan melihat berbagai keadaan
atau kondisi yang ada.
Lawan kata al-‘adl dalam bahasa Arab adalah al-jur
yang berarti meninggalkan tujuan semula dalam sebuah perjalanan atau perbuatan
lainnya atau menyimpang dari jalan yang lurus. Kata-kata Arab lainnya yang
menjadi lawan dari kata al-‘adl adalah al-zhulm yang dalam bahasa Indonesianya
disebut zalim.
Al-zhulm berarti tidak menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Kata kerja zhalama berarti menyimpang dari jalan yang dituju. Ia
juga berarti melampaui batas-batas yang ditentukan. Selanjutnya kata-kata
al-Jur dan al-Zhulm mengandung arti ketidak adilan, kebengisan dan aniaya.
Melihat defenisi yang dikemukakan di atas, maka
keadilan identik dengan sesuatu yang baik dan disenangi. Sedangkan
ketidakadilan menunjukkan sesuatu yang jelek atau dibenci. Orang yang bersifat
adil berarti orang yang tidak mengutamakan hawa nafsunya dalam melakukan setiap
tindakan atau perbuatan dan memiliki keadaan jiwa yang lurus. Karena itu
keadilan adalah salah satu prinsip penting dalam agama Islam yang harus
diterapkan dalam berbagai kondisi dan keadaan.
- Pandangan Mutakallimin Tentang Keadilan Tuhan
Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak
tergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak
dan berbuat ataukah manusia itu hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan
terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan munculnya makna
“keadilan,” yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada
tempatnya, menjadi berbeda.
Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan
manusia cenderung memahami keadilan tuhan dari sudut pandang keadilan manusia.
Sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada ketidakbebasan
manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memahami
keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta. Ini berarti bahwa
keadilan Tuhan terkait dengan kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat,
selanjutnya juga terkait dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Secara
umum, pandangan mengenai konsep keadilan Tuhan dibagi menjadi aliran.
- Aliran kalam rasional
Konsep keadilan bagi kalangan rasional banyak
didominasi oleh pendapat aliran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, prinsip keadilan
merupakan salah satu prinsip dari lima prinsip dasar Mu’tazilah yang biasa
disebut al-Ushul al-khamsah. Konsep keadilan bagi mereka mempunyai dua sisi
pembahasan, pertama; menyangkut hak dan kewajiban; dalam konteks ini keadilan
berarti lawan dari kezaliman. Kedua; berkaitan dengan perbuatan Tuhan, dengan
pengertian bahwa segala perbuatannya adalah baik dan mustahil ia melakukan
perbuatan buruk.
Mewakili aliran mu’tazilah, menurut Abd al-Jabbar bahwa
“keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang
buruk, tidak melalaikan segala kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala
perbuatan-Nya adalah baik”. Tuhan dalam pandangan mu’tazilah, mempunyai
kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri buat diri-Nya. Ayat al-Qur’an
yang menjadi sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah antara lain:
“Kami menggunakan neraca yang adil pada hari kiamat maka sesorang tidak akan
dirugikan walau sedikitpun. Jika ada masalah yang seberat biji sawi pun pasti
akan kami datangkan. Cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. al-Anbiya:47)
“Pada hari itu seseorang tidak akan dizalimi sedikit pun dan kamu tidak
akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang kamu kerjakan.”(QS. Yasin:54)
Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia
dalam kehendak dan perbuatan yang dipahami Mu’tazilah, aliran Maturidiah
Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan
zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali
dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya
hamba-hamba-Nya dan tidak akan memungkiri segala janji-Nya yang telah
disampaikan kepada manusia. Abu Mansur al-Maturidi memberi dalil pandangan di
atas dengan firman Allah ayat 160 surat al-An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.
Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang kuat antara kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Ilahi, karena
bagaimana mungkin, jika manusia itu tidak diberi kebebasan dan kehendak dalam
melakukan sesuatu perbuatan dan kemudian diminta pertanggung jawaban atas
akibat perbuatannya. Hal ini jelas bertentangan dengan keadilan Allah yang
menghendaki agar manusia itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang
dilakukan dengan kehendaknya yang bebas bukan terpaksa. Dan selanjutnya, ia
dapat meniadakan kezaliman dari Allah sebab kemungkaran moral yang dilakukan
manusia, dan sekiranya kemungkaran itu sudah ditentukan Allah atas manusia
sejak azali, maka balasan yang diberikan atasnya merupakan suatu kezaliman. Ini
bermakna, asas keadilan Ilahi menanamkan dalam diri manusia rasa tanggung jawab
atas segala perbuatannya, karena ia yakin bahwa perbuatannya itu dilakukan
dengan penuh kehendak dan pilihannya sendiri, dan kemudian ia memperoleh
balasan atas perbuatannya itu, maka itu adalah wajar dan adil. Selanjutnya,
“Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi
hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang sesuai dengan
daya (qudrah) yang diletakkan Allah kepada mereka.
Muhammad abduh memandang soal keadilan Tuhan bukan
hanya dari segi ke maha sempurnaan Tuhan, tetapi juga dari pemikiran rasional
manusia. Sifat ketidakadilan tidak bisa diberikan kepada Tuhan, karena
ketidakadilan tidak sejalan dengan ke maha bijaksanaan Tuhan, tidak sejalan
dengan kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan tidak pula sejalan dengan kesempurnaan
peraturan alam semesta.
Keadilan dalam pandangan Abduh, berkaitan dengan
hukuman dan balasan; baik hukum diberikan sesuai dengan kejahatan yang
dilakukan dan balasan baik diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat
pemurah Tuhan dapat mengubah derajat balasan baik kepada perbuatan yang baik
dan melipat gandakannya. Tetapi dalam soal kejahatan perbandingannya tetap satu
lawan satu. Sebuah keadilan tidak bisa mencakup pemberian sesuatu kepada orang
yang tidak berhak menerimanya dan menahan sesuatu dari orang yang berhak
memilikinya.
Bagi kalangan Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana
harus memiliki suatu maksud dari penciptaan alam semesta ini, dan bahwa
terdapat keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan Tuhan,
sekalipun terhadap orang yang mengesampingkan hukum Ilahi (syari’ah) mengenai
kebaikan dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat tidak
adil. Sebaliknya, keburukan diciptakan oleh manusia yang telah diberikan oleh
Tuhan kemerdekaan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Mereka itu
bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan dan akan mendapatkan pahala atau
hukuman oleh Tuhan atas apa yang dilakukannya itu.
Dalam hal ini, konsep ‘keadilan Tuhan’ berdasarkan
perspektif Syi’ah hampir memiliki persamaan dengan konsep Mu’tazilah, dengan
demikian Syi’ah pada akhirnya membela mazhab Mu’tazilah yang menekankan pada
‘pelimpahan kekuasaan’ (tafwidh) pada manusia. Walaupun tidak semua pendapat
Mu’tazilah dapat diterima kaum Syi’ah, namun secara garis besar dapat
dimasukkan kedalam kelompok ini.
- Aliran kalam tradisional atau Ahli Sunnah
Adapun aliran kalam tradisional disebut juga ahli
Sunnah atau ahli Hadits, yang menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam
kerajaan-Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam pandangan
Asy’ariyah. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak bisa
berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan
tidak adil bila yang terpahami adalah Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap
milik-Nya.
Tidak ditemukan secara khusus ayat-ayat yang dijadikan
dalil oleh Asy’ari dalam memperkuat pandangan tentang keadilan Tuhan ini. Hal
ini disebabkan paham keadilan Tuhan dalam pandangan Asy’ari lebih bertitik
berat pada makna kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sehingga ayat-ayat yang
sering dipakai untuk menopang paham keadilan Tuhan ini adalah ayat-ayat yang
juga dipergunakan untuk memperkuat pandangan tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan tersebut.
Terkait hubungan antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan
keadilan Tuhan maka al-Baghdadi mengatakan, “Tuhan bersifat adil dalam segala
perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa saja
yang dikehendakinya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas
segala perintah. Ia tidak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya
kepada siapa pun.”
Sependapat dengan Asy’ariyah, aliran Maturidiah
Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi mengatakan bahwa
Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk
menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendaknya sendiri. Keadaan Tuhan yang
bersifat maha bijaksana tidak mengandung arti bahwa disebalik perbuatan Tuhan
terdapat hikmat-hikmat. Atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan
diletakkan pada kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
Aliran Asy‘ariyah meninjau masalah keadilan Tuhan dari
segi “manusia harus bersikap adil kepada Tuhan,” sang khaliknya. Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan dengan demikian adalah pemilik mutlak alam semesta
beserta isinya, termasuk manusia. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan berhak berbuat
apa saja terhadap makhluknya, itulah keadilan. Ketidakadilan adalah sebaliknya,
yaitu menempatkan Tuhan bukan sebagai pemilik mutlak dari alam semesta sehingga
tidak berhak berbuat sekehendak hati-Nya terhadap milik-Nya. Karena pengetahuan
Allah tentang keadilan yang sesungguhnya. Sifat adil di sisi Allah merupakan
pengetahuan yang qadim.
Dengan demikian jika kaum Mu’tazilah menempatkan
keadilan Tuhan sebagai keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi
oleh hukum-hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatannya sendiri, maka kaum
Asy’ariyah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja absolut, yang
memberikan hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu
kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri.
- Al-‘Adalah & Hubungannya Dengan Empat Prinsip Lainnya
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi
kalangan Mu’tazilah, konsep keadilan Tuhan (al-‘Adalah), merupakan salah satu
dari lima prinsip dasar yang memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya.
Keadilan terkait dengan konsep tauhid karena sifat Esa adalah sifat zat Tuhan
sedangkan sifat adil adalah sifat perbuatan Tuhan. Ilmu tauhid mencakup pada
pembahasan dari segi Tuhan sebagai zat yang mutlak. Ketika terkait dengan
keadilan, maka itu masuk kepada pembicaraan mengenai perbuatan Tuhan dari segi
hubungannya dengan manusia. Hubungan itu wajib disandarkan kepada Allah
sekaligus kepada manusia.
Kaitannya dengan prinsip selanjutnya, yaitu janji dan
ancaman (al-wa’ad wa al-wa’id). Sebagai sebuah ajaran, kaum Mu’tazilah meyakini
bahwa Allah ta’ala adalah benar dengan janji dan ancamannya. Allah tidak akan
mengganti janjinya dan pasti akan mewujudkan janjinya di hari kiamat. Jika
seorang mukmin melaksanakan amal shalih selama hidup di dunia dan tetap dalam
keadaan ta’at sampai ia mati, maka ia berhak mendapat pahala dan masuk surga
bila pahalanya lebih banyak dari dosanya. Demikan juga sebaliknya, jika ia
selama di dunia, ia banyak berbuat dosa dan tidak sempat bertobat, maka
sebagaimana janji allah adalah ia di akhirat akan disiksa di neraka.
Dengan begitu, berdasarkan janji Allah yang demikian,
maka keadilan akan terpenuhi. Allah tidak akan berdusta dengan janjinya, tidak
akan berbuat zalim dan aniaya memasukkan orang-orang yang jahat kedalam surga
dan sebaliknya memasukkan orang salih kedalam neraka. Inilah konsep yang adil
bagi kalangan Mu’tazilah.
Sebagai kelanjutan dari prinsip al-wa’ad wa al-wa’id,
maka sebagai sebuah keadilan juga, apabila seorang pelaku dosa besar yang masih
percaya kepada Allah dan Nabi Muhammad saw, ia bukanlah termasuk kafir, tetapi
bukan juga mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia
tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir, ia juga tidak layak masuk
neraka. orang seperti ini berada dalam posisi al-manzilah bain al-manzilatain.
Prinsip kelima yaitu amr ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar,
yaitu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah berbuat kemunkaran. Ajaran ini
merupakan akumulasi praktis dalam mengamalkan keempat prinsip dasar lainnya.
Dengan melakukannnya, berarti telah sempurnalah lima ajaran dasar keimanan
tersebut.
Kaitannya dengan konsep keadilan, karena dengan
meyakini dan mengamalkan prinsip amr ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar maka sebagai
sebuah kebajikan, pasti akan diberi ganjaran pahala dan kebaikan dari Allah,
masuk kedalam kategori orang-orang yang beriman dan layak untuk masuk surga,
oleh karena Allah ta’ala bersifat adil kepada hamba-hambanya yang telah
melakukan kebaikan.
- Solusi Persoalan “Keadilan Tuhan”
Perdebatan mengenai “keadlian Tuhan” antara kaum
Mu’tazilah dan Asy’ariyah menjadi terbentang antara dua kutub yang berlawanan.
Dengan begitu, argumen-argumen yang dikemukakan kaum Mu’tazilah maupun
Asy’ariyah dua-duanya memiliki kelebihan, sekaligus kelemahan. kelebihan masing-masing
aliran adalah ketika mengajukan keberatan-keberatan yang diajukan kepada pihak
lawan-nya. Sedangkan kelemahannya tampak sewaktu masing-masing aliran
menjadikan mazhabnya sebagai yang paling benar yang kemudian dipertahankannya
habis-habisan.
Adanya pertentangan yang terjadi di antara
mazhab-mazhab kalam menimbulkan respon atau sikap dari sebagian ulama khususnya
ulama mutaakhirin, cenderung menghindari perdebatan berkaitan tentang esensi
zat Allah, sifat-sifat dan hal-hal yang membawa perdebatan sengit yang tak
kunjung selesai. Sayid Sabiq mengatakan, “perdebatan-perdebatan tentang Tuhan
merupakan sesuatu yang bid’ah dan harus dilenyapkan dari lubuk hati kaum
muslimin. Sebab tidak lain hanyalah karena zat Allah ta’ala masih jauh lebih
luhur dan lebih agung dari yang dipecahkan dengan pemikiran persoalan-persoalan
tersebut. Allah tidak memaksa kita untuk mencapainya, sebab persoalan-persoalan
seperti di atas sudah keluar dari batas kemampuan akal fikiran manusia
sekalipun sepandai-pandainya manusia tersebut. Akal manusia amat terbatas
sedangkan zat Allah SWT adalah jauh dari apa yang dicapai manusia.”
Sebagai mencoba menjadi penengah, Seyyed Hossein Nasr
menuliskan, “Sebagai suatu ‘kebenaran dan realitas absolut’ dan akhirnya
‘realitas satu-satunya’ tanpa pembagian dan batasan apapun pada esensi-Nya,
Tuhan adalah keadilan itu sendiri. Karena dia adalah dirinya sendiri dan tidak
ada sesuatupun kecuali dirinya sendiri. Tidak mungkin ada ketidakadilan dan
ketidakteraturan dalam diri-Nya, karena memang tidak ada realitas lain baik di
dalam atau di luar diri-Nya yang akan memunculkan kondisi-kondisi tersebut.
Secara filosofis dan teologis, hanya Tuhan kenyataannya yang merupakan
‘keadilan tak berhingga dan sempurna’ serta ‘Pemberi keadilan sempurna’.”
Selama berabad-abad, ahli teologi muslim
memperdebatkan apakah segala perbuatan Tuhan dikatakan adil semata-mata karena
perbuatan itu adalah perbuatan tuhan, atau karena Tuhan sebagai Tuhan, tidak
bisa tidak harus bertindak adil, dan apakah sifat keadilan Tuhan dapat dipahami
dan dirasakan oleh kita sesuai dengan kecerdasan pikiran kita yang diberikan
oleh Tuhan? Golongan Asy’ari yang mendominasi teologi Sunni, mendukung pendapat
pertama. Sedangkan Mu’tazilah dan Syi’ah mendukung pendapat kedua. Namun hasil
akhirnya, sejauh pandangan dunia Islam yang umum adalah sama, yaitu bahwa Tuhan
adalah benar-benar maha adil dan pengelola keadilan yang sempurna bagi seluruh
makhluk-Nya.
- Benarkah Allah Berbuat Adil Dalam Kehidupan Ini?
Dalam kehidupan ini, kita sering mendengar pertanyaan
dari orang-orang yang merasa bahwa dalam hidupnya ia tidak mendapatkan keadilan
dari Tuhan. Ini adalah sebuah kesimpulan yang ia ambil setelah merasakan dan
melihat dalam kehidupannya sebuah kenyataan hidup yang pahit, baik itu bencana,
musibah, dan hal-hal lainnya yang tidak diinginkan, misalnya musibah kematian,
kelaparan, sakit yang tak kunjung sembuh walaupun sudah berusaha maksimal dan
musibah lainnya.
Secara teologi, hal tersebut perlu dijelaskan dengan
sebaik mungkin karena bila pertanyaan tersebut tidak terjawab secara memuaskan,
maka hal tersebut dapat membawa kerusakan akidah seorang muslim, karena telah
berprasangka buruk terhadap Allah.
Persolan masalah keadilan dalam hal ini terkait dengan
setiap usaha manusia dan pandangan manusia terhadap konsep takdir. Takdir
sebagaimana yang diketahui di bagi menjadi dua, yaitu taqdir yang tetap
(mubram) dan yang dapat diubah dan diusahakan (mu’allaq). Jadi, perlu diketahui
oleh setiap muslim bahwa dalam kehidupan ini wilayah yang mu’allaq lebih besar
porsinya dari wilayah yang mubram. Taqdir yang dapat diusahakan tersebut berada
dalam setiap sisi kehidupan ini dan terkait dengan hukum sebab akibat
(kausalitas).
Sebagai contoh, misalnya, jika seseorang ingin menjadi
orang pintar maka ia harus belajar dengan rajin dan tekun; jika ingin menjadi
pengusaha kaya, maka harus berusaha semaksimal mungkin dan berusaha mencari
setiap peluang usaha yang dapat mendatangkan uang; atau, jika tidak ingin
mendapat musibah tsunami, maka carilah tempat tinggal yang jauh dari wilayah
pantai yang rawan tsunami. Jadi, apa yang terjadi dalam kehidupan kita
sekarang, tidak terlepas dari apa yang kita lakukan dan usahakan pada waktu
terdahulu. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk
berprasangka baik terhadap Tuhan (husnun al-zhann) dalam kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun.
1986. Teologi Islam. Jakarta: UI Press.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh. 1987. Teologi
Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press.
Abdul Aziz. A. Sachedina. 1994. Kepemimpinan Dalam Islam. Cetakan kedua.
Bandung. Mizan.
Matondang, Ali Ya’kub.196. Pemikiran Kalam Mu’tazilah. Medan: Jabal
Rahmat.
www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih