Translate

Minggu, 16 Desember 2012

KEADILAN TUHAN


RESUME STUDI ISLAM
KEADILAN TUHAN

Dosen : Drs. Aminuddin, M.Ag





 
 




NAMA : AHDIN MARA SALEH H.
NIM : 1112081000045

PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012









KEADILAN TUHAN


  1. Makna Adil
Kata keadilan berasal dari kata arab al-‘adl sebagai bentuk masdar dari ‘adala, ya’dilu, ‘adlan yang berarti meluruskan, menyamakan dan berbuat adil. Bisa juga berarti al-kailu atau timbangan dan tawassatha baina haalaini yang berarti penengah antara dua hal. Sejalan dengan itu, kata ‘adala mengandung arti menyelesaikan masalah. Umpamanya, menyelesaikan permusuhan antara dua orang yang sedang bertikai atau bertengkar.
Melihat kepada arti aslinya tidak mengherankan kalau kata al-‘adl dihubungkan dengan timbangan yang lurus secara horisontal, yaitu timbangan yang daunnya tidak berat sebelah. Sebagian orang juga menyebut bahwa adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan melihat berbagai keadaan atau kondisi yang ada.
Lawan kata al-‘adl dalam bahasa Arab adalah al-jur yang berarti meninggalkan tujuan semula dalam sebuah perjalanan atau perbuatan lainnya atau menyimpang dari jalan yang lurus. Kata-kata Arab lainnya yang menjadi lawan dari kata al-‘adl adalah al-zhulm yang dalam bahasa Indonesianya disebut zalim.
Al-zhulm berarti tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kata kerja zhalama berarti menyimpang dari jalan yang dituju. Ia juga berarti melampaui batas-batas yang ditentukan. Selanjutnya kata-kata al-Jur dan al-Zhulm mengandung arti ketidak adilan, kebengisan dan aniaya.
Melihat defenisi yang dikemukakan di atas, maka keadilan identik dengan sesuatu yang baik dan disenangi. Sedangkan ketidakadilan menunjukkan sesuatu yang jelek atau dibenci. Orang yang bersifat adil berarti orang yang tidak mengutamakan hawa nafsunya dalam melakukan setiap tindakan atau perbuatan dan memiliki keadaan jiwa yang lurus. Karena itu keadilan adalah salah satu prinsip penting dalam agama Islam yang harus diterapkan dalam berbagai kondisi dan keadaan.

  1. Pandangan Mutakallimin Tentang Keadilan Tuhan
Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak tergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat ataukah manusia itu hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan munculnya makna “keadilan,” yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya, menjadi berbeda.
Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung memahami keadilan tuhan dari sudut pandang keadilan manusia. Sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta. Ini berarti bahwa keadilan Tuhan terkait dengan kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat, selanjutnya juga terkait dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Secara umum, pandangan mengenai konsep keadilan Tuhan dibagi menjadi aliran.

  1. Aliran kalam rasional
Konsep keadilan bagi kalangan rasional banyak didominasi oleh pendapat aliran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, prinsip keadilan merupakan salah satu prinsip dari lima prinsip dasar Mu’tazilah yang biasa disebut al-Ushul al-khamsah. Konsep keadilan bagi mereka mempunyai dua sisi pembahasan, pertama; menyangkut hak dan kewajiban; dalam konteks ini keadilan berarti lawan dari kezaliman. Kedua; berkaitan dengan perbuatan Tuhan, dengan pengertian bahwa segala perbuatannya adalah baik dan mustahil ia melakukan perbuatan buruk.
Mewakili aliran mu’tazilah, menurut Abd al-Jabbar bahwa “keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan segala kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik”. Tuhan dalam pandangan mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri buat diri-Nya. Ayat al-Qur’an yang menjadi sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah antara lain:
“Kami menggunakan neraca yang adil pada hari kiamat maka sesorang tidak akan dirugikan walau sedikitpun. Jika ada masalah yang seberat biji sawi pun pasti akan kami datangkan. Cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. al-Anbiya:47)
“Pada hari itu seseorang tidak akan dizalimi sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang kamu kerjakan.”(QS. Yasin:54)
Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan yang dipahami Mu’tazilah, aliran Maturidiah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan tidak akan memungkiri segala janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Abu Mansur al-Maturidi memberi dalil pandangan di atas dengan firman Allah ayat 160 surat al-An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.
Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Ilahi, karena bagaimana mungkin, jika manusia itu tidak diberi kebebasan dan kehendak dalam melakukan sesuatu perbuatan dan kemudian diminta pertanggung jawaban atas akibat perbuatannya. Hal ini jelas bertentangan dengan keadilan Allah yang menghendaki agar manusia itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang dilakukan dengan kehendaknya yang bebas bukan terpaksa. Dan selanjutnya, ia dapat meniadakan kezaliman dari Allah sebab kemungkaran moral yang dilakukan manusia, dan sekiranya kemungkaran itu sudah ditentukan Allah atas manusia sejak azali, maka balasan yang diberikan atasnya merupakan suatu kezaliman. Ini bermakna, asas keadilan Ilahi menanamkan dalam diri manusia rasa tanggung jawab atas segala perbuatannya, karena ia yakin bahwa perbuatannya itu dilakukan dengan penuh kehendak dan pilihannya sendiri, dan kemudian ia memperoleh balasan atas perbuatannya itu, maka itu adalah wajar dan adil. Selanjutnya, “Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang sesuai dengan daya (qudrah) yang diletakkan Allah kepada mereka.
Muhammad abduh memandang soal keadilan Tuhan bukan hanya dari segi ke maha sempurnaan Tuhan, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak bisa diberikan kepada Tuhan, karena ketidakadilan tidak sejalan dengan ke maha bijaksanaan Tuhan, tidak sejalan dengan kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan tidak pula sejalan dengan kesempurnaan peraturan alam semesta.
Keadilan dalam pandangan Abduh, berkaitan dengan hukuman dan balasan; baik hukum diberikan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan balasan baik diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan dapat mengubah derajat balasan baik kepada perbuatan yang baik dan melipat gandakannya. Tetapi dalam soal kejahatan perbandingannya tetap satu lawan satu. Sebuah keadilan tidak bisa mencakup pemberian sesuatu kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan menahan sesuatu dari orang yang berhak memilikinya.
Bagi kalangan Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana harus memiliki suatu maksud dari penciptaan alam semesta ini, dan bahwa terdapat keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan Tuhan, sekalipun terhadap orang yang mengesampingkan hukum Ilahi (syari’ah) mengenai kebaikan dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat tidak adil. Sebaliknya, keburukan diciptakan oleh manusia yang telah diberikan oleh Tuhan kemerdekaan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Mereka itu bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan dan akan mendapatkan pahala atau hukuman oleh Tuhan atas apa yang dilakukannya itu.
Dalam hal ini, konsep ‘keadilan Tuhan’ berdasarkan perspektif Syi’ah hampir memiliki persamaan dengan konsep Mu’tazilah, dengan demikian Syi’ah pada akhirnya membela mazhab Mu’tazilah yang menekankan pada ‘pelimpahan kekuasaan’ (tafwidh) pada manusia. Walaupun tidak semua pendapat Mu’tazilah dapat diterima kaum Syi’ah, namun secara garis besar dapat dimasukkan kedalam kelompok ini.

  1. Aliran kalam tradisional atau Ahli Sunnah
Adapun aliran kalam tradisional disebut juga ahli Sunnah atau ahli Hadits, yang menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil bila yang terpahami adalah Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
Tidak ditemukan secara khusus ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Asy’ari dalam memperkuat pandangan tentang keadilan Tuhan ini. Hal ini disebabkan paham keadilan Tuhan dalam pandangan Asy’ari lebih bertitik berat pada makna kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sehingga ayat-ayat yang sering dipakai untuk menopang paham keadilan Tuhan ini adalah ayat-ayat yang juga dipergunakan untuk memperkuat pandangan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tersebut.
Terkait hubungan antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan keadilan Tuhan maka al-Baghdadi mengatakan, “Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa saja yang dikehendakinya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas segala perintah. Ia tidak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun.”
Sependapat dengan Asy’ariyah, aliran Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendaknya sendiri. Keadaan Tuhan yang bersifat maha bijaksana tidak mengandung arti bahwa disebalik perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
Aliran Asy‘ariyah meninjau masalah keadilan Tuhan dari segi “manusia harus bersikap adil kepada Tuhan,” sang khaliknya. Tuhan adalah pencipta alam semesta dan dengan demikian adalah pemilik mutlak alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan berhak berbuat apa saja terhadap makhluknya, itulah keadilan. Ketidakadilan adalah sebaliknya, yaitu menempatkan Tuhan bukan sebagai pemilik mutlak dari alam semesta sehingga tidak berhak berbuat sekehendak hati-Nya terhadap milik-Nya. Karena pengetahuan Allah tentang keadilan yang sesungguhnya. Sifat adil di sisi Allah merupakan pengetahuan yang qadim.
Dengan demikian jika kaum Mu’tazilah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum-hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatannya sendiri, maka kaum Asy’ariyah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja absolut, yang memberikan hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri.

  1. Al-‘Adalah & Hubungannya Dengan Empat Prinsip Lainnya
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi kalangan Mu’tazilah, konsep keadilan Tuhan (al-‘Adalah), merupakan salah satu dari lima prinsip dasar yang memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya. Keadilan terkait dengan konsep tauhid karena sifat Esa adalah sifat zat Tuhan sedangkan sifat adil adalah sifat perbuatan Tuhan. Ilmu tauhid mencakup pada pembahasan dari segi Tuhan sebagai zat yang mutlak. Ketika terkait dengan keadilan, maka itu masuk kepada pembicaraan mengenai perbuatan Tuhan dari segi hubungannya dengan manusia. Hubungan itu wajib disandarkan kepada Allah sekaligus kepada manusia.
Kaitannya dengan prinsip selanjutnya, yaitu janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’id). Sebagai sebuah ajaran, kaum Mu’tazilah meyakini bahwa Allah ta’ala adalah benar dengan janji dan ancamannya. Allah tidak akan mengganti janjinya dan pasti akan mewujudkan janjinya di hari kiamat. Jika seorang mukmin melaksanakan amal shalih selama hidup di dunia dan tetap dalam keadaan ta’at sampai ia mati, maka ia berhak mendapat pahala dan masuk surga bila pahalanya lebih banyak dari dosanya. Demikan juga sebaliknya, jika ia selama di dunia, ia banyak berbuat dosa dan tidak sempat bertobat, maka sebagaimana janji allah adalah ia di akhirat akan disiksa di neraka.
Dengan begitu, berdasarkan janji Allah yang demikian, maka keadilan akan terpenuhi. Allah tidak akan berdusta dengan janjinya, tidak akan berbuat zalim dan aniaya memasukkan orang-orang yang jahat kedalam surga dan sebaliknya memasukkan orang salih kedalam neraka. Inilah konsep yang adil bagi kalangan Mu’tazilah.
Sebagai kelanjutan dari prinsip al-wa’ad wa al-wa’id, maka sebagai sebuah keadilan juga, apabila seorang pelaku dosa besar yang masih percaya kepada Allah dan Nabi Muhammad saw, ia bukanlah termasuk kafir, tetapi bukan juga mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir, ia juga tidak layak masuk neraka. orang seperti ini berada dalam posisi al-manzilah bain al-manzilatain.
Prinsip kelima yaitu amr ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar, yaitu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah berbuat kemunkaran. Ajaran ini merupakan akumulasi praktis dalam mengamalkan keempat prinsip dasar lainnya. Dengan melakukannnya, berarti telah sempurnalah lima ajaran dasar keimanan tersebut.
Kaitannya dengan konsep keadilan, karena dengan meyakini dan mengamalkan prinsip amr ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar maka sebagai sebuah kebajikan, pasti akan diberi ganjaran pahala dan kebaikan dari Allah, masuk kedalam kategori orang-orang yang beriman dan layak untuk masuk surga, oleh karena Allah ta’ala bersifat adil kepada hamba-hambanya yang telah melakukan kebaikan.

  1. Solusi Persoalan “Keadilan Tuhan”
Perdebatan mengenai “keadlian Tuhan” antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah menjadi terbentang antara dua kutub yang berlawanan. Dengan begitu, argumen-argumen yang dikemukakan kaum Mu’tazilah maupun Asy’ariyah dua-duanya memiliki kelebihan, sekaligus kelemahan. kelebihan masing-masing aliran adalah ketika mengajukan keberatan-keberatan yang diajukan kepada pihak lawan-nya. Sedangkan kelemahannya tampak sewaktu masing-masing aliran menjadikan mazhabnya sebagai yang paling benar yang kemudian dipertahankannya habis-habisan.
Adanya pertentangan yang terjadi di antara mazhab-mazhab kalam menimbulkan respon atau sikap dari sebagian ulama khususnya ulama mutaakhirin, cenderung menghindari perdebatan berkaitan tentang esensi zat Allah, sifat-sifat dan hal-hal yang membawa perdebatan sengit yang tak kunjung selesai. Sayid Sabiq mengatakan, “perdebatan-perdebatan tentang Tuhan merupakan sesuatu yang bid’ah dan harus dilenyapkan dari lubuk hati kaum muslimin. Sebab tidak lain hanyalah karena zat Allah ta’ala masih jauh lebih luhur dan lebih agung dari yang dipecahkan dengan pemikiran persoalan-persoalan tersebut. Allah tidak memaksa kita untuk mencapainya, sebab persoalan-persoalan seperti di atas sudah keluar dari batas kemampuan akal fikiran manusia sekalipun sepandai-pandainya manusia tersebut. Akal manusia amat terbatas sedangkan zat Allah SWT adalah jauh dari apa yang dicapai manusia.”
Sebagai mencoba menjadi penengah, Seyyed Hossein Nasr menuliskan, “Sebagai suatu ‘kebenaran dan realitas absolut’ dan akhirnya ‘realitas satu-satunya’ tanpa pembagian dan batasan apapun pada esensi-Nya, Tuhan adalah keadilan itu sendiri. Karena dia adalah dirinya sendiri dan tidak ada sesuatupun kecuali dirinya sendiri. Tidak mungkin ada ketidakadilan dan ketidakteraturan dalam diri-Nya, karena memang tidak ada realitas lain baik di dalam atau di luar diri-Nya yang akan memunculkan kondisi-kondisi tersebut. Secara filosofis dan teologis, hanya Tuhan kenyataannya yang merupakan ‘keadilan tak berhingga dan sempurna’ serta ‘Pemberi keadilan sempurna’.”
Selama berabad-abad, ahli teologi muslim memperdebatkan apakah segala perbuatan Tuhan dikatakan adil semata-mata karena perbuatan itu adalah perbuatan tuhan, atau karena Tuhan sebagai Tuhan, tidak bisa tidak harus bertindak adil, dan apakah sifat keadilan Tuhan dapat dipahami dan dirasakan oleh kita sesuai dengan kecerdasan pikiran kita yang diberikan oleh Tuhan? Golongan Asy’ari yang mendominasi teologi Sunni, mendukung pendapat pertama. Sedangkan Mu’tazilah dan Syi’ah mendukung pendapat kedua. Namun hasil akhirnya, sejauh pandangan dunia Islam yang umum adalah sama, yaitu bahwa Tuhan adalah benar-benar maha adil dan pengelola keadilan yang sempurna bagi seluruh makhluk-Nya.

  1. Benarkah Allah Berbuat Adil Dalam Kehidupan Ini?
Dalam kehidupan ini, kita sering mendengar pertanyaan dari orang-orang yang merasa bahwa dalam hidupnya ia tidak mendapatkan keadilan dari Tuhan. Ini adalah sebuah kesimpulan yang ia ambil setelah merasakan dan melihat dalam kehidupannya sebuah kenyataan hidup yang pahit, baik itu bencana, musibah, dan hal-hal lainnya yang tidak diinginkan, misalnya musibah kematian, kelaparan, sakit yang tak kunjung sembuh walaupun sudah berusaha maksimal dan musibah lainnya.
Secara teologi, hal tersebut perlu dijelaskan dengan sebaik mungkin karena bila pertanyaan tersebut tidak terjawab secara memuaskan, maka hal tersebut dapat membawa kerusakan akidah seorang muslim, karena telah berprasangka buruk terhadap Allah.
Persolan masalah keadilan dalam hal ini terkait dengan setiap usaha manusia dan pandangan manusia terhadap konsep takdir. Takdir sebagaimana yang diketahui di bagi menjadi dua, yaitu taqdir yang tetap (mubram) dan yang dapat diubah dan diusahakan (mu’allaq). Jadi, perlu diketahui oleh setiap muslim bahwa dalam kehidupan ini wilayah yang mu’allaq lebih besar porsinya dari wilayah yang mubram. Taqdir yang dapat diusahakan tersebut berada dalam setiap sisi kehidupan ini dan terkait dengan hukum sebab akibat (kausalitas).
Sebagai contoh, misalnya, jika seseorang ingin menjadi orang pintar maka ia harus belajar dengan rajin dan tekun; jika ingin menjadi pengusaha kaya, maka harus berusaha semaksimal mungkin dan berusaha mencari setiap peluang usaha yang dapat mendatangkan uang; atau, jika tidak ingin mendapat musibah tsunami, maka carilah tempat tinggal yang jauh dari wilayah pantai yang rawan tsunami. Jadi, apa yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang, tidak terlepas dari apa yang kita lakukan dan usahakan pada waktu terdahulu. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berprasangka baik terhadap Tuhan (husnun al-zhann) dalam kehidupannya.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI Press.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh. 1987. Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press.
Abdul Aziz. A. Sachedina. 1994. Kepemimpinan Dalam Islam. Cetakan kedua. Bandung. Mizan.
Matondang, Ali Ya’kub.196. Pemikiran Kalam Mu’tazilah. Medan: Jabal Rahmat.
www.google.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih